Hasil untuk category "PPN"

Apakah Penghasilan Bukan Objek PPN Juga Wajib Dilaporkan Pada SPT Masa PPN?

Studi Kasus:

CV Mitra Sejahtera adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sejak Januari 2024. Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan ini tidak hanya menyediakan jasa konstruksi yang merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tetapi juga memiliki penghasilan dari beberapa aktivitas bisnis yang bukan merupakan objek PPN, seperti penyewaan tanah kosong untuk area parkir.

CV Mitra Sejahtera selalu melaporkan SPT Masa PPN secara rutin. Namun, timbul pertanyaan dari bagian perpajakan perusahaan mengenai kewajiban pelaporan penghasilan yang bukan merupakan objek PPN dalam formulir SPT Masa PPN. Apakah penghasilan tersebut perlu dilaporkan atau dapat dikecualikan dari pelaporan Masa PPN?

Dasar Hukum Jawaban:

Merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), terdapat ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai kewajiban pelaporan penyerahan yang tidak terutang PPN.

Dalam Lampiran II Peraturan tersebut yang memuat Petunjuk Pengisian Formulir 1111 SPT Masa PPN, pada bagian isi 1B "Tidak Terutang PPN" dijelaskan bahwa kolom tersebut:

"Diisi dengan jumlah penyerahan barang dan jasa yang tidak terutang PPN yang merupakan penyerahan bukan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau bukan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak termasuk penyerahan yang PPN-nya Tidak Dipungut dan/atau penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN".

Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa:

  1. PKP memiliki kewajiban untuk melaporkan seluruh penyerahan yang dilakukannya, baik yang terutang PPN maupun yang tidak terutang PPN.
  2. Penyerahan yang tidak terutang PPN karena merupakan penyerahan bukan BKP dan/atau bukan JKP harus dilaporkan secara khusus pada bagian 1B formulir SPT Masa PPN.
  3. Untuk penyerahan yang PPN-nya Tidak Dipungut dan/atau penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN juga akan terlapor dalam SPT Masa PPN namun pada kolom/bagian yang berbeda.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

...

Studi Kasus PPN: Transaksi Segitiga Melibatkan Daerah Pabean dan Diluar Daerah Pabean (Batam)

Diketahui:
PT A berdomisili di Jakarta dan sudah PKP.

PT B berdomisili di Batam (KPBPB)

PT C berdomisili di Batam (KPBPB)

PT A memiliki bisnis yang bergerak di bidang perdagangan barang elektronik dengan skala internasional dan kemitraan di berbagai negara. PT A mendapatkan PO barang dari PT B yang berdomisili di Batam. Atas pesanan PT B tersebut, PT A melakukan order barang dari mitra bisnisnya yaitu PT C yang berdomisili di Batam juga. PT A memerintahkan PT C untuk mengirimkan barang pesanannya langsung kepada PT B. 

Pertanyaan: Apakah penjualan PT A kepada PT B dikenai PPN? 

Berdasarkan penjelasan pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN dan PPnBM:

Penyerahan barang yang dikenai pajak (PPN) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;

2. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

3. penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

3 syarat tersebut bersifat kumulatif, apabila tidak terpenuhi salah satu maka tidak dikenai PPN.

Walaupun KPBPB berada di wilayah indonesia, namun secara hukum keberadaannya dianggap diluar atau terpisah dari daerah pabean. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 41 Tahun 2021, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.

Dari studi kasus diatas, ada satu syarat yang tidak terpenuhi untuk dikenai PPN, yaitu penyerahannya dilakukan tidak didalam daerah pabean. sehingga atas transaksi tersebut tidak dikenai/tidak terutang PPN.

Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-130/PJ/2010:
a. Ada tiga syarat yang harus terpenuhi agar penyerahan barang dikenai Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

1) barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan

3) penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.

b. Ketiga syarat tersebut pada angka 2 huruf a bersifat kumulatif. Dengan demikian apabila ada satu atau lebih syarat tersebut tidak terpenuhi maka atas penyerahan barang tersebut tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

 

Dengan demikian apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan transaksi :

a. Penyerahan Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) berada di luar Daerah Pabean; atau
b. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak yang secara nyata (fisik) berada di Luar Daerah Pabean,
yang dibuktikan dengan akta atau bukti otentik yang mendukung fakta terjadinya transaksi tersebut, tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-130/PJ/2010 diberikan 2 contoh langsung:

Contoh satu

PT A (PKP terdaftar di KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Dua) menandatangani kontrak jual beli 10 (sepuluh) unit forklift dengan PT B (Wajib Pajak terdaftar di KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Dua). Dalam kontrak antara lain disepakati hal-hal sebagai berikut :
PT A akan membeli forklift tersebut dari pabrikan di Jepang, dan meminta pabrikan mengirimkan barang tersebut ke Gudang PT B di Singapura;
Barang tersebut akan dimodifikasi oleh PT B sebelum dikirim ke pabrik PT B di Karawang;
Impor barang dan dokumen pabean diurus dan atas nama PT B.
Atas transaksi penyerahan forklift oleh PT A kepada PT B tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh dua

PT Y (PKP terdaftar di KPP Pratama Jakarta Senen) menandatangani kontrak jual beli 1 unit bangunan kantor yang berada di Orchid Road Singapura dengan PT X (Wajib Pajak terdaftar di KPP Pratama Bogor). Kontrak jual beli dibuat dan ditandatangani di Jakarta. Selanjutnya proses teknis pengalihan hak atas bangunan tersebut akan diurus oleh konsultan W sesuai dengan hukum yang berlaku di Singapura. Atas transaksi penyerahan hak atas bangunan kantor yang berada di Singapura tersebut dari PT Y kepada PT X tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Untuk tetap dijadikan sebagai catatan penting:

1. Dalam hal Barang Kena Pajak yang telah diserahkan kemudian dimasukkan ke dalam Daerah Pabean, atas kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak (Impor) tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh orang yang memasukkan atau mengimpor Barang Kena Pajak tersebut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan. dan;

2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang berada di luar Daerah Pabean wajib melaporkan penyerahan tersebut pada bagian I huruf B (penyerahan yang tidak terutang PPN) dalam formulir Induk SPT Masa PPN.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

...

Resiko Terlambat Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak

KASUS WP TERLAMBAT MENGAJUKAN PENGUKUHAN SEBAGAI PKP 

PEGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2 Undang-Undang KUP

(2) Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. --[P3]

(4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajaksecara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). --[P3]
(4a) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak. --[P3]

Pasal 13 Undang-Undang KUP
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal sebagai berikut:
a. terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar;
e. kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a); atau

Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013
(1) Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00(empat miliar delapan ratus juta rupiah).
(2) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pasal 5  
(1) Apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) tidak dipenuhi pengusaha, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat mengukuhkan pengusaha tersebut sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

TATA CARA PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)
Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.03/2015

(1) Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; atau
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

Pasal 3
(1) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterbitkan untuk suatu Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
(3) Surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sesuai dengan Masa Pajak yang tercakup dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan atau Pajak Pertambahan Nilai.

Pasal 4
(1) Surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus diterbitkan berdasarkan nota penghitungan.
(2) Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan laporan hasil penelitian, laporan hasil Pemeriksaan, laporan hasil Pemeriksaan Ulang, atau laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.

PPN YANG SEHARUSNYA DIPUNGUT DITAMBAH SANKSI ADMINISTRASI BERUPA BUNGA
Pasal 13 Undang-Undang KUP
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal sebagai berikut: ******)
a. terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar;
e. kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a);

(2) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****)
(2b) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****)

Pasal 9
(1) Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
(2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung sejak berakhimya tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Pasal 7 Undang-Undang PPN
(1)    Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). *) (Berlaku sebelum 1 April 2022)

(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

a. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;

b. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.


Pasal 8A
(1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain. ***)

Pasal 65 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021
(1) Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, dapat dikreditkan oleh PKP.
(2) Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP yaitu Masa Pajak sebelum tanggal pengukuhan Pengusaha sebagai PKP sebagaimana tercantum dalam surat pengukuhan PKP.
(3) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP terhitung sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sampai dengan sebelum Pengusaha dimaksud dikukuhkan sebagai PKP.
(4) Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberlakukan untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP, yang dilakukan melalui:
a. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPN; dan/atau
b. penetapan kewajiban PPN melalui pemeriksaan.

SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA TERLAMBAT MENYAMPAIKAN SPT MASA PPN
Pasal 7 Undang-Undang KUP

(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. ***)

APAKAH WP DAPAT MELAKUKAN UPAYA HUKUM SELANJUTNYA? 
BACA SELENGKAPNYA DISINI

...

Cara menghitung PPN atas jasa travel umroh

Pak, bagaimana cara menghitung PPN jika kami menyediakan paket umroh plus? Dan kami harus menggunakan kode faktur pajak yang mana?

Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang PPN, Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini (UU PPN). 

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013, Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 huruf a UU HPP Bab IV PPN, Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu: sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2022, Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu wajib memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dengan besaran tertentu.

Pasal 2 ayat (2), Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: d. jasa penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan yang juga menyelenggarakan perjalanan ke tempat lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kriteria dan/atau rincian jasa keagamaan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai;

Besaran tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2): huruf d, yaitu sebesar: 

  1. 10% (sepuluh persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan Harga Jual paket penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain, dalam hal tagihan dirinci antara tagihan paket penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan dan tagihan paket penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain; atau 
  2. 5% (lima persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan Harga Jual keseluruhan paket penyelenggaraan perjalanan, dalam hal tagihan tidak dirinci antara tagihan paket penyelenggaraan perjalanan ibadah keagamaan dan tagihan paket penyelenggaraan perjalanan ke tempat lain;

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 (Lampiran), Penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya dipungut dengan besaran tertentu menggunakan kode transaksi FP 05.

Contoh Tagihan Dirinci:

PT ABC Travel Umroh menjual jasa umroh plus turki. Dalam invoice tagihan ke calon jamaah tertulis nilai jasa umroh Rp25.000.000 plus turki Rp5.000.000, Total Tagihan Rp30.000.000 (Tagihan dirinci). maka atas jasa tersebut PT ABC Travel Umroh harus memotong PPN dengan perhitungan sebagi berikut:

PPN= 10% x 11% x Rp5.000.000

PPN= Rp55.000 

 

Contoh Tagihan Tidak Dirinci:

PT ABC Travel Umroh menjual jasa umroh plus turki. Dalam invoice tagihan ke calon jamaah tertulis harga jasa umroh plus turki Rp.30.000.000 (Tanpa ada rincian). maka atas jasa tersebut PT ABC Travel Umroh harus memotong PPN dengan perhitungan sebagi berikut:

PPN= 5% x 11% x Rp30.000.000

PPN= Rp165.000 

 

Dasar Hukum:

  • Undang-Undang PPN (UU HPP No. 7 Tahun 2021)
  • PMK 197/PMK.03/2013
  • PMK 71/PMK.03/2022
  • PER-03/PJ/2022
...

Penyerahan Jasa Kena Pajak Di Batam Apakah Dibebaskan Dari Pengenaan PPN?

PT A (Domisili Batam) menunjuk PT B ( Domisili Jakarta) untuk melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi di Batam. Tagihan PT B (Jakarta) kepada PT A (Batam) atas transaksi pekerjaan jasa konstruksi di Batam tersebut apakah mendapat fasilitas tidak dipungut/dibebaskan PPN? Dan kode faktur pajaknya pakai 07/08?

Berdasarkan Pasal 16B ayat (1) UU PPN (UU HPP No. 7 Tahun 2021) 

Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk: 

a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; 

b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; 

c. impor Barang Kena Pajak tertentu; 

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan 

e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

 

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 (Beberapa kali telah diperbaharui)

1. Dengan Peraturan Pemerintah ini, kawasan Batam ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk jangka waktu 70 (tujuh puluh) tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini. 

2. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru; 

 

Berdasarkan Pasal 55 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2021, Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam KPBPB, dibebaskan dari pengenaan PPN.

Berdasarkan Pasal 28 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan No. 173/PMK.03/2021 

Atas penyerahan Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha di TLDDP yang dihasilkan di KPBPB untuk dimanfaatkan di KPBPB oleh Pengusaha di KPBPB dibebaskan dari pengenaan PPN

Persyaratan untuk mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaanPPN, Pengusaha di KPBPB harus membuat PPBJ

Berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 173/PMK.03/2021, Pengusaha di KPBPB yang bermaksud memperoleh Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari pengusaha di TLDDP, pengusaha di TPB, pelaku usaha di KEK, atau Pengusaha di KPBPB lain/sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), ayat (3), ayat (5), dan ayat (8) harus membuat PPBJ

 

Berdasarkan pasal 30 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan No. 173/PMK.03/2021, Dalam hal Pengusaha Kena Pajak di TLDDP, Pengusaha Kena Pajak di TPB, atau Pengusaha Kena Pajak di KEK: 

a. tidak menerima PPBJ sebagaimana dimaksud pada ayat (1); 

b. menerima PPBJ yang tidak terdapat pada SINSW; dan/atau 

c. menerima PPBJ yang melebihi masa berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), 

Pengusaha Kena Pajak di TLDDP, Pengusaha Kena Pajak di TPB, atau Pengusaha Kena Pajak di KEK wajib memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha di KPBPB. 

 

Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022, penyerahan JKP yang mendapat fasilitas dibebaskan PPN menggunakan kode transaksi 08 dalam faktur pajak.

 

Dasar Hukum:

  • UU PPN
  • PP No. 46 Tahun 2007
  • PP No. 41 Tahun 2021
  • PMK 173/PMK.03/2021
  • PER 03/PJ/2022
...

Faktur Pajak Untuk Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN

Kami sebagai badan usaha yang PKP membeli pasir dari penambang dan menjual kembali ke perusahaan yang PKP. bolehkah kami mengeluarkan faktur pajak dengan kode 08 . Terima kasih (CV. SRTC)

Berdasarkan PER-03/PJ/2022, Kode Transaksi Faktur pajak 080 merupakan kode yang digunakan atas transaksi penyerahan atau impor Barang/Jasa Kena Pajak yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penyerahan atau impor Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang menggunakan kode transaksi faktur pajak 080 ini adalah penyerahan atau impor Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang bersifat strategis dan barang tertentu.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) huruf s angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara, meliputi: asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, feldspar, garam batu (halite ), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, obsidian, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat, talk, tanah serap (fullers earth ), tanah diatom, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosit, zeolit, basal, trakhit, dan belerang, yang batasan dan kriterianya dapat diatur dengan Peraturan Menteri; termasuk barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Sehingga atas dasar tersebut pengusaha kena pajak dapat menerbitkan faktur pajak dengan kode transaksi 08.

Sebagai catatan tambahan, pasir tersebut tidak di olah lebih lanjut sampai berbentuk lain.

Dasar Hukum:

  • PP Nomor 49 Tahun 2022
  • PER-03/PJ/2022

 

...