Mencari Solusi Masalah Pajak?

Kami hadir dengan harga layanan yang jelas, akan menjauhkan anda dari kesalahan dalam menentukan alokasi biaya jasa perpajakan dan jasa lainnya

Alasan memilih kami

Konsultan Profesional

Kami memiliki konsultan profesional yang akan membantu anda menyelesaikan masalah perpajakan.

Resiko kesalahan dalam membuat laporan perpajakan memicu dilakukannya pemeriksaan pajak. Minimalkan kesalahan pelaporan pajak dengan memilih konsultan profesional dan bersertifikat

Harga Layanan Jelas

Biaya perpajakan yang tinggi menjadi salah satu faktor penghalang kepatuhan wajib pajak

Biaya yang terukur akan memudahkan klien untuk menentukan layanan yang akan di ambil. Kami berkomitmen untuk tetap menjaga kualitas layanan dengan harga jasa yang terjangkau.

Layanan Online Lebih Efisien

Pengerjaan secara online akan memangkas waktu banyak sehingga lebih efisien

Mengunakan layanan chat pajak semudah chating loh. Sistem online ini kami sajikan untuk mempermudah klien dalam memilih dan menentukan harga layanan.

Pilih Layanan

Paket Orang Pribadi

Layanan ini meliputi pelaporan SPT tahunan orang pribadi dengan status sebagai karyawan, freelancer, wiraswasta, dan lain-lain

Lihat Harga

Paket Untuk Perusahaan

Layanan ini mencakup perusahaan yang baru berdiri, usaha mikro dan kecil, menengah, sampai dengan perusahaan skala besar

Lihat Harga

Paket Lain-Lain

Selain itu kami juga membuka jasa konsultasi, jasa kepatuhan pajak, jasa administrasi bisnis. konsultasikan sekarang

Lihat Harga

Anda masih bingung?

Konsultasikan saja dengan kami. Tenaga profesional kami akan melayani anda kapan saja dan dimana saja hanya dengan cara online

Konsultasi Gratis

Layanan Terlaris

Jasa Akuntansi

Mulai Rp500.000,-per bulan

  • Laporan Neraca
  • Laporan Laba-Rugi
  • Laporan Perubahan Ekuitas
  • Daftar Aset dan Penyusutan
  • Akses Software Akuntansi Pro
  • Arsip Dokumen Keuangan
Mulai Konsultasi

Pendirian PT

Mulai Rp499.000,-Harga Promo

  • Pernyataan Pendirian PT
  • SK Kemenkumham
  • Nomor Induk Berusaha (NIB)
  • NPWP Perusahaan
  • Pengerjaan lama
  • Konsultasi berbayar
Mulai Konsultasi

Artikel Terbaru

Redefinisi Pajak - Menuju Definisi yang Lebih Substansial dan Realistis

Ketika kita berbicara tentang pajak, seringkali yang muncul adalah wacana tentang kewajiban dan paksaan. Namun, apakah definisi pajak yang ada saat ini sudah cukup mencerminkan realitas hubungan hukum yang sebenarnya antara wajib pajak dan negara? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita melihat berbagai permasalahan dalam implementasi sistem perpajakan di Indonesia.

Definisi pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menyatakan bahwa "Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Sekilas, definisi ini tampak komprehensif dan aspiratif. Namun, jika kita telaah lebih dalam, terdapat beberapa kelemahan fundamental yang perlu dipertimbangkan.

Masalah pertama terletak pada frasa "bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat." Meskipun terdengar mulia dan sesuai dengan cita-cita negara, frasa ini mengandung ambiguitas yang berpotensi menimbulkan masalah. Apa parameter objektif untuk mengukur "kemakmuran rakyat"? Bagaimana kita menilai apakah pajak yang dipungut benar-benar telah digunakan untuk kemakmuran tersebut? Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab karena kemakmuran adalah konsep yang sangat relatif dan subjektif.

Lebih dari itu, mencantumkan "kemakmuran rakyat" dalam definisi pajak sebenarnya redundan. Mengapa? Karena mensejahterakan rakyat sudah menjadi kewajiban konstitusional negara. Dengan demikian, semua fungsi negara, termasuk pemungutan pajak, secara inheren sudah ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Mencantumkannya kembali dalam definisi pajak justru menciptakan redundansi yang tidak perlu.

Kelemahan kedua ada pada frasa "dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung." Kalimat ini menciptakan persepsi bahwa wajib pajak memberikan sesuatu kepada negara tanpa mendapat sesuatu yang berarti. Persepsi ini kontraproduktif dalam membangun kesadaran kepatuhan membayar pajak. Dalam kenyataannya, wajib pajak mendapat berbagai "imbalan" berupa layanan publik, infrastruktur, perlindungan hukum, dan berbagai fasilitas lainnya yang disediakan negara sekalipun belum pernah berkontribusi membayar pajak. Menekankan kata "tidak mendapat imbalan" justru memperkuat stereotype negatif tentang pajak.

Masalah ketiga adalah penggunaan frasa "bersifat memaksa." Dalam sistem hukum modern, semua kewajiban hukum pada dasarnya bersifat mengikat berdasarkan undang-undang. Menekankan aspek "memaksa" dalam definisi pajak memberikan konotasi negatif yang tidak perlu dan dapat mengurangi legitimasi moral sistem perpajakan.

Melihat berbagai kelemahan tersebut, Nurtiyas yang merupakan seorang praktisi dan akademisi perpajakan, mengusulkan redefinisi pajak yang lebih substansial dan realistis. Menurut Nurtiyas, "Pajak adalah kontribusi wajib berdasarkan undang-undang yang terutang oleh wajib pajak, yang pelaksanaannya diwujudkan dengan kepastian hukum dan keadilan."

Redefinisi ini fokus pada esensi hukum pajak tanpa embel-embel yang tidak operasional. Pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib berdasarkan undang-undang yang terutang oleh wajib pajak. Tiga elemen ini—sifat kontributif, basis legalitas, dan subjek hukum.

Definisi ini juga menciptakan hubungan timbal balik yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan. Frasa "yang pelaksanaannya diwujudkan dengan kepastian hukum dan keadilan" memberikan perlindungan yang konkret bagi wajib pajak. Kepastian hukum di sini mencakup prediktabilitas peraturan, konsistensi penerapan, transparansi prosedur, dan jaminan hak prosedural. Sementara itu, keadilan mencakup proporsionalitas beban pajak, equality before the law, due process dalam penagihan, dan non-diskriminasi dalam pelayanan.

Yang menarik dari redefinisi ini adalah penggunaan kata "diwujudkan." Kata ini mengimplikasikan bahwa kepastian hukum dan keadilan bukan sekadar tujuan atau janji, tetapi sesuatu yang harus secara aktif direalisasikan dalam setiap proses perpajakan. Ini menciptakan akuntabilitas yang lebih kuat bagi otoritas pajak untuk benar-benar memastikan bahwa setiap aspek perpajakan dilaksanakan dengan kepastian hukum dan keadilan.

Berbeda dengan "kemakmuran rakyat" yang abstrak dan sulit diukur, kepastian hukum dan keadilan dapat dievaluasi melalui berbagai indikator yang objektif. Misalnya, tingkat konsistensi dalam penerapan peraturan, waktu penyelesaian proses administrasi, kualitas pelayanan kepada wajib pajak, dan efektivitas mekanisme pengaduan. Dengan demikian, redefinisi ini tidak hanya memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi wajib pajak, tetapi juga menciptakan parameter yang jelas untuk mengevaluasi kinerja sistem perpajakan.

Bagi wajib pajak, definisi baru ini memberikan fondasi hukum yang lebih kuat untuk menuntut kepastian hukum dalam setiap proses perpajakan dan memperoleh perlakuan yang adil serta non-diskriminatif. Bagi otoritas pajak, redefinisi ini memberikan panduan yang jelas untuk mengembangkan sistem administrasi yang dapat diprediksi dan memastikan konsistensi dalam penerapan peraturan.

Redefinisi pajak yang diusulkan Nurtiyas ini bukan sekadar perubahan semantik, tetapi merupakan pergeseran paradigma mendasar. Dari definisi yang bersifat retoris dan aspiratif, menuju definisi yang lebih honest, realistic, dan actionable. Definisi ini tidak menjanjikan yang tidak dapat dipenuhi, tetapi menjamin yang dapat dituntut secara hukum.

Dalam era di mana kepercayaan terhadap institusi publik menjadi isu yang krusial, redefinisi pajak menjadi langkah penting untuk membangun social contract yang lebih sehat antara negara dan warga negara. Saatnya kita bergerak dari pajak sebagai "kontribusi untuk kemakmuran" yang abstrak menuju pajak sebagai "kontribusi dengan kepastian hukum dan keadilan" yang konkret dan dapat dipertanggungjawabkan.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini

...

Baca Selengkapnya

Pembagian Hasil Penerimaan PBB

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat penting. Namun, hasil penerimaan PBB tidak hanya menjadi hak pemerintah pusat, melainkan dibagi dengan pemerintah daerah melalui mekanisme yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pembagian hasil penerimaan PBB diatur dalam Pasal 18 angka 1 UU PBB yang menyatakan bahwa hasil penerimaan pajak merupakan penerimaan negara yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 yang memberikan rincian teknis mengenai mekanisme pembagian tersebut.

Pemerintah telah menetapkan formula pembagian hasil PBB dengan proporsi yang sangat menguntungkan daerah. Dari total penerimaan PBB, pembagiannya adalah:

  • 10% untuk Pemerintah Pusat
  • 90% untuk Pemerintah Daerah

Komposisi ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung desentralisasi fiskal dan memperkuat kapasitas keuangan daerah.

Rincian Pembagian 90% Bagian Daerah

Bagian daerah sebesar 90% tidak diberikan dalam satu kesatuan, melainkan dipecah menjadi tiga komponen:

  1. Bagian Pemerintah Provinsi (16,2%)
  2. Bagian Pemerintah Kabupaten/Kota (64,8%)
  3. Biaya Pemungutan (9%)

Mekanisme Pembagian 10% Bagian Pemerintah Pusat

Meskipun disebut sebagai bagian pemerintah pusat, dana 10% ini sebenarnya juga didistribusikan kembali kepada seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia. Pembagian dilakukan berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan formula sebagai berikut:

Pembagian Merata (65%)

Sebesar 65% dari bagian pemerintah pusat dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota di Indonesia. Mekanisme ini memastikan bahwa semua daerah, terlepas dari potensi PBB-nya, mendapat manfaat dari penerimaan pajak nasional.

Pembagian Berbasis Insentif (35%)

Sisanya sebesar 35% diberikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten/kota yang berhasil mencapai atau melampaui target penerimaan PBB pada tahun anggaran sebelumnya. Sistem insentif ini bertujuan mendorong kinerja pemungutan pajak di daerah.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini

...

Baca Selengkapnya

Penerbitan SKP PBB Setelah Pemeriksaan: Bagaimana perhitungannya?

Setelah memperoleh keterangan lain, tidak jarang terjadi perbedaan antara nilai pajak yang ditetapkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Ketika hal ini terjadi, otoritas pajak akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk menagih selisih pajak beserta sanksi yang berlaku.

Sebagai contoh: Tuan B telah menerima SPPT PBB berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) yang disampaikannya dengan nilai pajak terutang sebesar Rp100.000.000. Sebagai wajib pajak yang patuh, Tuan B telah melunasi seluruh PBB terutang sesuai dengan SPPT tersebut.

Namun, setelah dilakukan pemeriksaan oleh petugas pajak, ternyata ditemukan bahwa pajak yang seharusnya terutang adalah sebesar Rp150.000.000. Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan: berapa jumlah pajak yang akan ditagih dalam SKP yang akan diterbitkan untuk Tuan B?

Perhitungan Pajak Terutang dalam SKP

Berdasarkan hasil pemeriksaan, terdapat selisih pajak terutang:

  • Pajak terutang berdasarkan SPPT: Rp100.000.000
  • Pajak terutang berdasarkan pemeriksaan: Rp150.000.000
  • Selisih pajak terutang: Rp50.000.000

Atas selisih pajak terutang sebesar Rp50.000.000 tersebut, akan dikenakan denda administrasi sebesar 25%, yaitu Rp12.500.000. Dengan demikian, total pajak yang terhutang dalam SKP adalah Rp62.500.000, yang terdiri dari selisih pajak terutang ditambah denda administrasi.

Dasar Hukum Penerbitan SKP PBB

Pasal 10 ayat (2) UU PBB

"Direktur Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. apabila Surat Pemberitahuan Obyek Pajak tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan setelah di tegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  2. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak."

Dalam kasus Tuan B, penerbitan SKP didasarkan pada poin kedua, yaitu adanya perbedaan antara pajak yang dihitung berdasarkan SPOP dengan hasil pemeriksaan.

Pasal 10 ayat (4) UU PBB

"Jumlah pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang."

Pasal ini secara tegas mengatur bahwa SKP yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan hanya berisi selisih pajak terutang ditambah denda administrasi 25%, bukan keseluruhan pajak terutang.

 

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

 

...

Baca Selengkapnya

Terlambat Bayar PBB? Ini Konsekuensi dan Cara Menghitung Dendanya

Studi Kasus:

Tuan A menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB pada 10 Mei 2024 dengan nilai pajak terutang sebesar Rp1.000.000. Namun, karena berbagai kesibukan, beliau baru sempat melakukan pembayaran pada 10 Desember 2024. Pertanyaannya, apa konsekuensi yang harus dihadapi Tuan A?

Konsekuensi Keterlambatan:

Meskipun Tuan A sudah membayar hutang pokok PBB sebesar Rp1.000.000 pada 10 Desember 2024, beliau akan menerima Surat Tagihan Pajak (STP) yang berisi tagihan denda administrasi sebesar Rp40.000. Ini karena pembayaran dilakukan setelah melewati jatuh tempo yang ditetapkan.

Cara Menghitung Denda PBB

Perhitungan denda sebesar Rp40.000 diperoleh dengan rumus: 2% × 2 bulan × Rp1.000.000 = Rp40.000

Mengapa dihitung 2 bulan? Ini berkaitan dengan mekanisme perhitungan jatuh tempo dan keterlambatan dalam sistem perpajakan Indonesia.

Memahami Jatuh Tempo Pembayaran PBB

Berdasarkan Undang-Undang PBB, jatuh tempo pembayaran SPPT adalah 6 bulan sejak tanggal diterima. Dalam kasus Tuan A:

  • Tanggal terima SPPT: 10 Mei 2024
  • Jatuh tempo pembayaran: 9 November 2024 (6 bulan kemudian)
  • Tanggal pembayaran aktual: 10 Desember 2024
  • Keterlambatan: 1 bulan 1 hari

Yang menarik, dalam sistem perpajakan Indonesia, keterlambatan 1 hari saja sudah dihitung sebagai 1 bulan penuh. Oleh karena itu, keterlambatan 1 bulan 1 hari dihitung sebagai 2 bulan untuk keperluan pengenaan denda.

Landasan Hukum Pengenaan Denda PBB

Pengenaan denda atas keterlambatan pembayaran PBB memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan Undang-Undang PBB:

Pasal 10 ayat (1) UU PBB

"Berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang."

Pasal ini mengatur tentang penerbitan SPPT berdasarkan Surat Pemberitahuan Obyek Pajak yang disampaikan wajib pajak.

Pasal 11 ayat (1) UU PBB

"Pajak yang terhutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) harus dilunasi selambat-lambatnya enam bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh wajib pajak."

Ketentuan ini menetapkan bahwa pajak PBB harus dibayar dalam waktu maksimal 6 bulan sejak SPPT diterima wajib pajak.

Pasal 11 ayat (3) UU PBB

"Pajak yang terhutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak dibayar atau kurang dibayar, dikenakan denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan, yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan."

Pasal inilah yang menjadi dasar pengenaan denda 2% per bulan atas keterlambatan pembayaran PBB, dengan maksimal pengenaan denda selama 24 bulan.

Pasal 11 ayat (4) UU PBB

"Denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditambah dengan hutang pajak yang belum atau kurang dibayar ditagih dengan Surat Tagihan Pajak yang harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak oleh wajib pajak."

Ketentuan ini mengatur bahwa denda administrasi beserta hutang pajak akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak yang harus dibayar dalam waktu 1 bulan sejak diterima

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

...

Baca Selengkapnya

Menghitung Angsuran PPh Pasal 25: Panduan Sederhana untuk Perusahaan

Perhitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 seringkali menjadi tantangan bagi banyak perusahaan. Tidak sedikit wajib pajak yang masih keliru dalam menentukan besaran angsuran yang harus dibayar, bahkan ada yang sengaja menghindari pembayaran karena khawatir mengalami lebih bayar. Padahal, kesalahan ini justru dapat merugikan perusahaan karena berpotensi menimbulkan sanksi berupa bunga.

Studi Kasus: PT A dan Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25

Mari kita pelajari kasus nyata dari PT A yang akan melaporkan SPT Tahunan 2024. Berdasarkan data yang dimiliki:

  • PPh terutang dalam SPT Tahunan 2024: Rp100.000.000
  • Kredit pajak PPh Pasal 25 periode Januari-April 2024: Rp4.000.000 per bulan
  • Kredit pajak PPh Pasal 25 periode Mei-Desember 2024: Rp5.250.000 per bulan
  • Total kredit pajak PPh Pasal 25 tahun 2024: Rp58.000.000

Dari perhitungan tersebut, status SPT Tahunan PT A untuk tahun 2024 adalah kurang bayar sebesar Rp42.000.000. Angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar mulai Mei 2025 adalah Rp3.500.000 per bulan (Rp42.000.000 dibagi 12 bulan).

Pertanyaan:

1. Berapa Angsuran PPh Pasal 25 untuk Januari-April 2025?

Sebelum PT A melaporkan SPT Tahunan 2024, perusahaan tetap harus membayar angsuran PPh Pasal 25. Berdasarkan Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang PPh, “Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.”

Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar PT A pada periode Januari-April 2025 adalah Rp5.250.000 per bulan, sesuai dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember 2024.

2. Bagaimana Jika PT A Terlambat Melaporkan SPT Tahunan?

Situasi menjadi lebih kompleks ketika PT A terlambat melaporkan SPT Tahunan 2024, anggaplah terlambat hingga lapor SPT Tahunan di bulan Juni. Berdasarkan lampiran PER-08/PJ/2020, jika wajib pajak terlambat melaporkan SPT Tahunan, maka cicilan PPh Pasal 25 untuk masa yang terlambat tersebut disamakan dengan masa Desember tahun sebelumnya.

Artinya, angsuran PPh Pasal 25 yang harus dibayar PT A pada masa Mei-Juni 2025 tetap sebesar Rp5.250.000 per bulan, mengikuti angsuran PPh Pasal 25 masa Desember 2024.

Mengapa Kesalahan Perhitungan Berbahaya?

Banyak perusahaan yang masih melakukan kesalahan mendasar dalam menentukan nilai angsuran PPh Pasal 25. Beberapa bahkan sengaja tidak membayar angsuran dengan dalih takut mengalami lebih bayar. Pendekatan ini sangat merugikan karena:

  1. Bunga Keterlambatan: Tunggakan pajak akan dikenai bunga yang terus bertambah seiring waktu
  2. Risiko Pemeriksaan: Ketidakpatuhan dapat memicu pemeriksaan pajak

Tips Mengelola Angsuran PPh Pasal 25 dengan Baik

Untuk menghindari masalah perpajakan, perusahaan sebaiknya:

  • Selalu membayar angsuran PPh Pasal 25 tepat waktu sesuai ketentuan
  • Memahami dasar hukum perhitungan angsuran pajak
  • Melaporkan SPT Tahunan sesuai batas waktu yang ditentukan
  • Berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional untuk kasus yang kompleks

Pemahaman yang tepat tentang mekanisme perhitungan angsuran PPh Pasal 25 akan membantu perusahaan menghindari sanksi perpajakan yang tidak perlu. Ingatlah bahwa kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga investasi untuk keberlanjutan bisnis jangka panjang.

Disclaimer: Artikel ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi. Pembaca disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional sebelum mengambil keputusan terkait perpajakan berdasarkan informasi dalam artikel ini.

...

Baca Selengkapnya

Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Berdasarkan PP 55 Tahun 2022

Berikut ini adalah peraturan terkait perlakukan perpajakan untuk UMKM di Indonesia. Di muat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022

Pasal 56

(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu.
(2) Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
(3) Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayar di luar negeri;
penghasilan yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(4) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f. agen iklan;
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang atau penjualan langsung dan kegiatan sejenis lainnya.


Pasal 57

(1) Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) merupakan:
a. Wajib Pajak orang pribadi; dan
b. Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, perseroan terbatas, atau badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama,
yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(2) Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
a. Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan:
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak badan;
b. Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus yang menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4);
c. Wajib Pajak badan yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan:
Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta perubahan atau penggantinya; atau
Pasal 75 dan Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus beserta perubahan atau penggantinya; dan
d. Wajib Pajak bentuk usaha tetap.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.


Pasal 58

(1) Besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang.
(2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-istri yang:
a. menghendaki perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis; atau
b. istrinya menghendaki memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan istri.


Pasal 59

(1) Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) paling lama:
7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan
3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.
(2) Penghitungan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
bagi Wajib Pajak yang terdaftar setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Wajib Pajak bersangkutan terdaftar;
bagi Wajib Pajak badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama atau perseroan perorangan yang didirikan oleh 1 (satu) orang yang terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, jangka waktu pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dihitung sejak Tahun Pajak Peraturan Pemerintah ini berlaku.


Pasal 60

(1) Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a, atas bagian peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan.
(3) Bagian peredaran bruto dari usaha tidak dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
(4) Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
(5) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dikalikan dengan:
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b; atau
dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memperhitungkan bagian peredaran bruto dari usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a.


Pasal 61 

(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan.
(2) Atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan:
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak orang pribadi; atau
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan mempertimbangkan Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan, untuk Wajib Pajak badan.


Pasal 62

(1) Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (5) dilunasi dengan cara:
disetor sendiri oleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; atau
dipotong atau dipungut oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan dalam hal Wajib Pajak bersangkutan melakukan transaksi dengan pihak yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut pajak.
(2) Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan setiap bulan.
(3) Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk setiap transaksi dengan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.


Pasal 63

(1) Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini bertransaksi dengan pemotong atau pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib Pajak bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

...

Baca Selengkapnya